Site icon KLIKSultra.com

PERS Sebagai Sarana Meningkatkan Perubahan Budaya

Annis D. Raksanagara

Praktisi Pendidikan Anak

Ketika mencium tangan menjadi berbahaya, kita perlu alternatif dalam membiasakan anak-anak bersikap sopan dan menghormati orang lain.

Mencium tangan merupakan budaya sebagian masyarakat Indonesia. Ritual ini dilakukan ketika bertemu dan berpisah antara anak dengan orang tua, murid dengan guru, atau seseorang dengan orang lain yang dihormatinya. Ada yang mencium dengan bibir, hidung, pipi, atau sekadar menyentuhkan dahi. Apa pun caranya, semua melibatkan persentuhan fisik dua orang.

Pandemi Covid-19, Corona Virus Desease 2019, membuat cium tangan menjadi tak aman. Pada ritual itu, ada kontak fisik. Padahal, sekarang kontak fisik merupakan aktivitas yang harus dihindari. Ada potensi besar terjadi perpindahan virus dari salah seorangnya kepada yang lain. Jika cium tangan itu dilakukan kepada guru di sekolah atau kyai di pesantren atau pengajian, risiko penularan meningkat. Murid atau jamaah yang melakukan salim, demikian biasanya perilaku ini dinamai, ada banyak. Bayangkan jika pelaku awal adalah OTG, orang tanpa gejala, akan ada banyak orang lain setelah dia yang terdampak.

Selama ini ritual cium tangan bukan tidak menyebabkan perpindahan virus. Hanya saja sekarang sedang berkeliaran SARS-CoV-2, virus jenis baru yang bisa berakibat fatal jika hinggap pada orang yang tidak tepat. Dunia medis pun masih dalam tahap mempelajari perilaku virus ini, termasuk rentang efek yang ditimbulkan, pencegahan, dan pengobatannya.

Dalam masa penulisan artikel ini, penulis sempat bertemu Ustad Yusuf Mansyur dan Ibu Lisa Khasali pada sebuah acara silaturahmi di Rumah Perubahan, Bekasi. Penulis memanfaatkan pertemuan ini untuk mendapat masukan, alternatif apa yang bisa kita lakukan sebagai bagian dari masyarakat. Menurut penulis, mereka orang yang sangat berkaitan dengan urusan cium tangan. Pak UYM, panggilan orang-orang kepada Ustad Yusuf Mansyur, setiap hari berhubungan dengan ribuan santri, sedangkan Ibu Lisa adalah pendiri PAUD dan TK Kutilang15 tahun lalu dan mengelolanya hingga sekarang.

Di luar dugaan, keduanya malah bercerita banyak dengan senang hati. Pengalaman mereka tidak searah, tetapi menarik. Memperkaya dan melengkapi paparan penulis sekarang.

“Tapi, kan, Pak Kiai selalu punya wudu, kita perlu berkahnya.” Demikian respon pertama Pak UYM atas pertanyaan penulis. Berikut ini penulis mencoba memaparkan penjelasan Pak UYM urusan cium tangan para santri kepada ustad atau kiai.

Pertama, aneka cara cium tangan itu ternyata bukan sekadar gaya, tetapi ada makna, khususnya untuk di kalangan santri pesantren. Ada yang mencium sekali tepat di tengah punggung tangan, ada yang di bagian pangkal jempol, ada juga yang di telapak tangan. Peruntukannya berbeda-beda, misalnya untuk kiai, guru, atau kakak pendamping asrama.

Ada yang satu kali, ada yang bolak-balik antara punggung dan telapak tangan. Pengulangan ini terkait jawaban spontan Pak UYM di atas. Pak Kiai itu selain selalu punya wudu, dia banyak berdoa dan mengaji. Hampir selalu dalam kondisi berbuat baik. Akumulasi kebaikan ini tentu berbekas. Dengan mencium tangan mereka, ada transfer energi kebaikan. Semakin banyak kita hirup aura itu pada tangannya, maka diharapkan transferan energi baik yang kita terima juga lebih banyak.

Menurut Pak UYM, banyak penelitian menemukan bahwa pada saat cium tangan kepada Kiai, guru atau orang tua itu, ada perpindahan hormon Feromon. Feromon adalah hormon kasih sayang dan cinta secara sosial maupun seksual. Feromon dalam makna hormon cinta seksual antar manusia sudah sangat terkenal. Hormon ini ternyata banyak dimiliki juga oleh para kiai. Intensitas berkencan mereka dengan Tuhan tinggi, sehingga koleksi hormon kasih sayang pada tubuhnya pun berlimpah. Ini adalah Feromon sebagai hormon kasih sayang secara sosial. Limpahan hormon ini yang dikejar, agar sebagai murid kita terpapar aura kebaikan kiai. Ngalap berkah, dalam bahasa Jawanya.

Kabar baiknya, transfer hormon ini tidak selalu harus dengan sentuhan. Rasa cinta dan kasih sayang bisa disebarkan dengan banyak cara lain. Semakin banyak kita paparkan kepada anak, semakin kuat reaksi yang akan dihasilkan. Rasa sayang dan hormat dari anak dan murid akan muncul dengan sendirinya.

Uraian ini menjadi sejalan dengan pandangan Ibu Lisa Khasali yang telah menelaah lebih mendasar mengapa ada budaya cium tangan. Apa yang sebenarnya dikejar dari perilaku itu? Jawabannya ternyata melatih hormat dan sayang. Mengapa kita tidak mencoba fokus pada upaya membiasakan hormat dan sayang kepada orang lain saja? Jika anak sudah terbiasa hormat dan sayang kepada orang lain, dia akan santun dan hormat, walaupun tanpa cium tangan. Cara ini sudah Bu Lisa terapkan di sekolah yang dia kelola lebih dari 1,5 dekade itu.

Penjelasan Pak UYM dan Bu Lisa menguatkan premis penulis bahwa kita, terutama pada masa pandemi, bisa menumbuhkan kebiasaan hormat dan sayang kepada orang lain pada anak-anak tanpa perlu cium tangan.

Penulis berpendapat, kita bisa memanfaatkan media untuk meluaskan pengaruh upaya meningkatkan kepedulian banyak orang akan kebutuhan menanamkan budaya hormat dan sayang kepada orang lain sejak usia kanak-kanak. Media yang penulis maksud bisa berupa media sosial maupun media massa. Media sosial bersifat individual, sementara media massa lebih terkoordinasi.

Pers bisa berperan aktif menggugah kepedulian para orang dewasa pembuat konten di media sosial maupun langsung menuju sasaran, anak-anak. Caranya juga bisa aneka ragam, bisa dengan kisah, contoh, atau permainan dan kegiatan yang mudah diterapkan di rumah dan lingkungan masing-masing. Upaya ini harus berkesinambungan, bukan sesaat. Penulis tidak memikirkan webinar atau kursus daring sebagai pilihan. Pelatihan sesaat biasanya efeknya juga sesaat.

Membaca tema Hari Pers Nasional 2021, ”Bangkit dari Pandemi, Jakarta Gerbang Pemulihan Ekonomi, Pers sebagai Akselerator Perubahan”, penulis berbesar hati. Kita punya “seseorang” yang bisa menjadi perpanjangan tangan untuk mewujudkan harapan, pers. Perkembangan teknologi membuat media daring semakin dekat dengan pembaca. Intensitas komunikasi anak saat ini bisa jadi lebih banyak dengan gawai daripada dengan orang tua, teman, maupun guru. Penulis melihat ini merupakan peluang besar untuk turut memperbanyak informasi positif yang bisa dipilih anak.

Selain membuat konten positif berlimpah, secara beriringan kita perlu menguatkan kemahiran memilih nilai pada anak-anak. Sebanyak apa pun konten positif, selalu akan ada lebih banyak lagi konten tak mendidik. Kita tidak bisa melarang orang membuat konten, tetapi kita bisa melatih anak untuk terbiasa memilih konten yang akan dia akses. Pembiasaan ini juga pekerjaan rumah lain yang perlu dimasyarakatkan.

Mencekoki anak hanya dengan konten positif saja tidak cukup. Masa orang tua bisa mendampingi anak terbatas. Ketika lepas dari pengawasan, anak bisa tak terkontrol lagi. Sebagai orang tua, secara bertahap kita latih anak-anak mengambil keputusan sendiri, membiasakan mereka memilih konten yang baik dari aneka penawaran. Pembiasaan ini memudahkan orang tua secara jangka panjang.

Anak akan hormat dan sayang kepada orang tua karena tidak memaksa anak hanya untuk mengikuti segala kehendak orang tua. Orang tua tidak khawatir kepada anak karena tahu anak punya sensor rasa yang bagus atas nilai-nilai yang beredar. Membudayakan kemahiran memilih nilai bisa juga ditunjang kampanye pers dengan tak segan menuang konten tips melatih memilih nilai ini banyak-banyak.

Pelatihan bertahap bisa dimulai dengan cara sederhana. Memilih terbatas. Misalnya, setelah mandi tunjukkan dua baju, dan minta anak memilih salah satunya, bukan dengan memaksakan memakai baju tertentu. Saat mau makan, biarkan memilih pakai sendok atau tangan.

Masih sangat banyak cara lain yang bisa kita terapkan. Semoga segera, budaya baru terbentuk, masyarakat bisa cerdas memilih dan memilah informasi, dan nilai-nilai kebaikan tetap tumbuh subur.

Semoga para pengelola media tergerak untuk memberi ruang lebih banyak bagi tulisan atau konten dalam bentuk apa pun yang merupakan penggugah nilai-nilai kebaikan yang aplikatif, bukan menggurui, dan menyenangkan saat penerapannya.

Exit mobile version