Di kawasan kuningan Jakarta, di antara gemerlapnya lampu dan kesibukan kendaraan bermotor, seorang lelaki berusia 70-an tahun duduk merengkuh di trotoar. Namanya Saiman, di hadapannya terhampar puluhan eksemplar koran.
Ketika media cetak semakin menghilang, Saiman bertahan dengan menjual koran-koran yang masih terbit. Kendati hanya beberapa nama seperti Kompas, WartaKota, dan Poskota yang tersisa, dia gigih menjajakannya kepada para pengendara yang lewat.
Namun, kisah Saiman bukanlah tentang kesuksesan, melainkan tentang perjuangan. Tiga tahun lalu, sebelum pandemi Covid-19 melanda dunia, media cetak masih berkembang. Namun, sejak pandemi melanda, banyak media cetak gulung tikar satu per satu.
Di tengah tantangan itu, Saiman memilih untuk tetap bertahan. Dia adalah satu-satunya pedagang koran di kawasan itu, mencoba bertahan di hari-hari terakhir koran. Dengan gigih, ia menjual eceran koran kepada mereka yang masih mengapresiasi cetakan kertas dalam era digital ini.
Kisah Saiman adalah cermin dari perubahan zaman. Di tengah gemerlapnya dunia digital, ada yang tetap setia pada tradisi lama. Meski hanya sebatas sebuah lapak di trotoar, Saiman menunjukkan keteguhan hatinya untuk mempertahankan sesuatu yang mungkin akan segera lenyap dari ingatan kolektif: koran cetak. (Fars/Iman)