Seminar online yang digelar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Medan Area, Prodi Ilmu Komunikasi dengan tajuk “Semiloka Rekontruksi Kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka,” Selasa (2/3/2021), menjadi hangat, dengan tampilnya Ketua Umum SMSI Pusat, Firdaus, yang memberikan paparan tentang dasar- dasar jurnalistik di era digital.
Turut hadir juga sebagai narasumber, Hermansyah, SE (Ketua SMSI Sumut), Drs. H. Sofyan Harahap (Wakil Penanggung Jawab Harian Waspada), Jimmi A.A., S.Ps. CHRP, CHRM (Manager Komunikasi PT. PLN Persero, UIW Sumatera Utara), Syaiful Anwar Lubis (Ketua IJTI Sumut dan Praktisi Jurnalis Televisi), Fakhrur Rozi (Dewan Redaksi Kaldera.id/Dosen UINSU), Aldi Wilman, ST (Manager Kadiv & Public Relatioan Regional 1), Saurma MGP Siahaan, MIPR (Ketua BPC Perhumasan Meda), Chandi Mohammad, SE (Youtuber), Tulangtio, SE (Alumni Influencer Conten Creator, Penyanyi) dan Dr. Dedy Sahputra, MA yang bertindak sebagai moderator.
Diawal bicara mengenai dasar jurnalistik di era digital, saat ini menurut Firdaus, ada beberapa masalah yang dialami media diantaranya, mencari model media, meningkatkan kepercayaan pembaca, membangun iklim bisnis, bersaing dengan media sosial yang banyak menarik minat para pengguna internet untuk segementasi hiburan dan praktik media terus berubah akibat disrubsi digital.
Saat ini lanjut Firdaus, media baru telah mengubah jurnalisme dalam empat cara, pertama, sifat konten berita berubah akibat dari munculnya teknologi media baru yaitu, konten interaktif, realtime, kedua, cara wartawan melakukan pekerjaannya berbasiskan digital dan multimedia, multiplatform, ketiga struktur ruang redaksi dan industri berita sedang mengalami transformasi mendasar, keempat, media baru membentuk kembali bagaimana hubungan antara unsur di dalam organisasi berita yaitu jurnalis, dan audiens termasuk narasumber, pesaing, pengiklan, dan pemerintah.
“Contoh, audien tidak hanya hanya sebagai penerima berita, tapi juga pemasok berita.(Jhon P Pavlik, 2001),” ujar Firdaus.
Selain itu, di era digital, diungkapkan Firdaus, telah muncul karakter baru media digital.
“Teori gatekeeping, yang menjelaskan berita diseleksi dan ditentukan tim redaksi sebelum berita ditayangkan, tidak berlaku dalam media digital. Dan berubah menjadi gatekeeping digital, online, virtual, karena interaktivitas audiens membuat audien berpartisipasi sebagai penjaga gerbang sekunder di Internet. Media digital dan media sosial memungkinkan audiens untuk berpartisipasi dalam dialog, berinteraksi langsung dengan bisnis, institusi, dan pembuat berita. (Shoemaker & Vos, 2009),” papar Firdaus.
Ditambahkan Firdaus, dalam menulis judul di media digital ditentukan oleh Google dengan sistem clicbait yaitu istilah untuk judul berita yang dibuat untuk menggoda pembaca yaitu menggunakan bahasa yang provokatif dan menarik perhatian.
“Karena judul adalah elemen yang paling pertama dibaca netizen di hasil pencarian, maka dengan mengoptimasi judul jumlah klik bisa bertambah. klik tidak melalui konten berkualitas, melalui tajuk utama halaman depan yang menarik, provokatif, dan sensasional yang bertujuan mengeksploitasi keingintahuan pengguna,” tandas Firdaus.
Lebih jauh diterangkan Firdaus, di era digital, jurnalis menggunakan media sosial sebagai alat pengumpul informasi, memeriksa berita media lain, mendapatkan berita terkini, mewawancari narasumber, memvalidasi informasi, dan menyebarkan pemberitaan yang dapat dipertanggungjawabkan.
“Trending topics media sosial dapat memiliki pengaruh signifikan dalam memproduksi informasi yang mempengaruhi agenda publik. Media menggunakannya, agar tidak tertinggal informasi yang sedang diperbincangan para nitizen,” tutur Firdaus.
Media, sambung Firdaus, menjadikan media sosial sebagai medium penyebarluasan berita. Karena media sosial dapat memperluas kemampuan berkomunikasi.
“Penyajian berita pada media sosial tersebut dilakukan dalam format foto, infografis, video pendek berdurasi satu sampai enam menit, videografis, dan live streaming,” urai Firdaus.
Masih dalam paparanya, owner Teras Grup ini juga menjelaskan berbagai bentuk berita diantaranya, Hard news yang memiliki daya tarik tinggi bagi pembaca karena sifatnya informatif, aktual, realtime.
Selanjutnya berita opini yang mengulas persoalan secara khusus dengan pendekatan akademik dan jurnalisme sastrawi.
“Berita-berita opini memiliki nilai tersendiri bagi para pembacanya. Berita opini untuk refrensi dalam beberapa kasus, seperti isu lingkungan, hukum, politik, ekonomi dan sosial,” cetus Firdaus.
“Berita investigasi memiliki nilai lebih dalam memberikan kepuasan pembaca, sehingga berita ini akan sangat ekslusif dalam memberikan berita. Tingkat kerumitan dan proses panjang membuat berita ini akan mampu menarik pembaca dari berbagai segementasi pembaca,” imbuh Firdaus.
Sementara itu, bicara perihal masa depan jurnalistik, Firdaus menerangkan, menurut (Burgess & Hurcombe, 2019:365), jurnalisme digital adalah praktik-praktik pengumpulan berita, pelaporan, produksi teks dan komunikasi tambahan yang mencerminkan, merespons, dan membentuk logika sosial, budaya dan ekonomi dari lingkungan media digital yang terus berubah.
Jadi jurnalistik digital tidak hanya memindahkan produk media konvensional ke media digital, tapi juga harus membuat model bisnis.
Firdaus mencontohkan, model bisnis ”The Long Tail” yang dipopulerkan oleh Chris Anderson tahun 2004. Istilah ini mendeskripsikan strategi bisnis pada segment pasar tertentu seperti yang dilakukan oleh Amazon.com atau Netflix, yang menjual sejumlah besar item unik dimana masing-masing memiliki kuantitas yang sedikit ke pangsa pasar yang besar.
Lalu, model bisnis Siberindo.co, media digital yang motori Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) menjadi newsroom terbesar di Indonesia merupakan model bisnis media digital yang memproduksi konten dimana konten bisa digunakan anggota SMSI se-Indonesia. Kolaborasi ini berpotensi secara ekonomi, dengan tetap memegang teguh prinsip akuntabilitas penulisan informasi.
Diakhir paparan, Firdaus menyebut, masa depan jurnalistik adalah bagaimana mengkombinasi jurnalisme lama dan baru yaitu fungsi pers sebagai penjaga pintu tak menghilang sepenuhnya, melainkan hanya mengecil dimensinya tentang apa yang mesti disediakan pers.
“Pers harus menampilkan seperangkat fungsi yang lebih kompleks dari sekadar penjaga pintu dan mengadopsi format baru gaya bertutur, penyebaran dan pelibatan public dalam berita. Pers masih menjadi mediator, tetapi dengan peran mediasi yang lebih beragam dan kompleks, dan menjalankannya di dunia komunikasi tanpa batas seperti sekarang akan lebih sulit. (Kovach dan Rosentiels, 2012: 180),” pungkas Firdaus.(*).